INTERTEKSTUAL DALAM NOVEL
NEGERI 5 MENARA KARYA A.FUADI DAN NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA
(Kajian Intertekstual)
WAHDANIAH
(20102506047)
1.
Pendahuluan
Karya sastra
diciptakan oleh pengarang. Berdasarkan kemampuan dan kekuatan imajinasinya
seorang pengarang mampu menciptakan
suatu karya sastra. Namun karya sastra yang telah tercipta tidak semata-mata
merupakan hasil kesanggupan seorang pengarang menciptakannya, tetapi karya
sastra yang tercipta itu dapat juga merupakan hasil meniru, menyerap,
menanggapi, dan mentransformasikan karya sastra sebelumnya. Kesanggupan seorang
pengarang menghasilkan sebuah karya sastra kemungkinan karena pernah membaca
karya sastra sebelumnya. Hasil dari membaca karya sastra sebelumnya dapat
dijadikan acuan, pedoman, atau latar untuk menciptakan suatu karya sastra yang
lain. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Nurgiantoro (2000:54) bahwa
seringkali karya sastra itu tercipta karena pengarang bermaksud untuk
menanggapi, menyerap, dan mentransformasikan karya sastra sebelumnya.
Sebuah karya sastra yang diciptakan
pengarang itu untuk dibaca, dinikmati, ataupun dimaknai. Untuk dapat memaknai
karya sastra, di samping diperlukan analisis unsur intrinsiknya, yaitu
unsur-unsur yang membangun karya sastra, seperti tema, alur, latar, diperlukan
pula latar social dan kesejarahannyan(Pradopo, 2003: 126). Lebih lanjut Pradopo
(2003:167) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baik puisi maupun prosa
mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian. Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan.
Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat
melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81)
kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya
sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada
dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga
sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk
mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan.
Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya,
gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam
suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).
Berkenaan
dengan memahami sastra melalui konteks kesejarahan, antara karya sastra dengan
karya sastra yang lain, dilakukan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang
diduga mempunyai hubungan tertentu. Misalnya, menemukan hubungan unsure-unsur
intrinsikya. Pengkajian sastra yang bermaksud menemukan hubungan persamaan dan
perbedaan anatara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain disebut
kajian intertekstual (Nurgiantoro, 2003: 50).
Dalam
hal ini, penulis mencoba menganalisis hubungan intertekstual novel Sang Pemimpi
karya Andrea Hirata dan novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi berdasarkan unsur
instrinsiknya.
2.
Pembahasan
2.1 Pengertian
Intertekstual
Secara
etimolologis berasal dari kata textus
dari bahasa Latin yang berarti tenunan, penggabungan, dan susunan (Ratna, 1997:
172). Intertekstual merupakan kajian tentang hubungan suatu teks dengan teks
yang lain karena tidak ada teks karya sastra yang lahir begitu saja, melainkan
sebelumnya sudah ada karya sastra lainnya. Sebagai contoh, sebelum para
pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masayarakat telah ada hikayat dan
berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Menurut Nurgiantoro
(2000:50) secara lebih khusus, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual
merupakan usaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya
sastra sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Kajian
intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya sastra ditulis, ia
tidak mungkin lahir dari kekosongan budaya (Riffatere dalam Nurgiantoro,
2000:50). Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat dalam
wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya.
Kajian ini menekankan bahwa suatu teks pada hakikatnya terdapat teks lain di
dalamnya. Julia Kristeva dikutip oleh Yunus (1985:87) merumuskan intertekstual
sebagai berikut:
a) Kehadiran secara fisikal suatu teks
dalam teks lainnya.
b) Pengertian teks bukan hanya terbatas
kepada cerita, tetapi juga mungkin berupa teks bahasa.
c) Adanya petunjuk yang menunjukkan
hubungan persambungan dan pemisah antara sutau teks dengan teks yang telah
terbit lebih dahulu. Dengan demikian, bukan tidak mungkin penulisnya (telah)
mebaca teks yang telah terbit lebih dahulu dan kemudian memasukkannya ke dalam
teks yang ditulisnya.
d) Dalam membaca suatu teks, kita tidak
hanya membaca teks itu saja, tetapi kita membacanya secara berdampingan dengan
teks-teks lainnya, sehingga interpretasi kita terhadapnya tak dapat dilepaskan
dari teks-teks lainnya.
Kritik sastra
terapan intertekstual dihasilkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Ia mengkritik karya-karya
sastra yang menunjukkan adany hubungan intertekstual, baik novel (dalam Bagus,
ed.,1987:32-52) maupun puisi (Pradopo, 1987:223-253). Kritik intertekstualitas
ini untuk memahami makna karya sastra dengan melihat hubungannya dengan karya
sastra (teks) lain. Diharapkan dengan pengajaran atau mempertentangkan dua atau
lebih karya sastra yang menunjukkan adanya hubungan antarteks, makna karya
sastra itu akan lebih dapat digali (secara timbal-balik).
Menurut Teeuw
yang dikutip Pradopo (2007: 131) karya sastra merupakan response terhadap karya sastra sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah
teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dengan teks yang lain. Julia Kristeva
(dikutip Pradopo, 2007: 132) menyatakan bahwa setiap teks merupakan mozaik
kutipan-kutipan dan merupakan tanggapan atau penyerapan (transformasi)
teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil
unsure-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks-teks sebelumnya, kemudian
unsure-unsur tersebut diolah dengan karya sendiri berdasarkan pikiran, gagasan,
horizon harapan, dan konsep estetika yang dimiliki pengarang.
Teks tertentu
yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut hipogram, sedangkan teks
yang menyerap (mentransformasi) hipogram itu disebut teks tranformasi.
Hipogram ada dua
macam, yakni hipogram potensial dan hipogram actual. Hipogram potensial tidak
eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstaksikan dari teks. Hipogram potensial
merupakan potensi system tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat
dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks lain atau teks yang
sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial ini adalah matrik yang merupakan inti
teks atau kata kunci yang dapat berupa kata, frase dan klausa (Pradopo dikutip
Mukmin, 2005:33-34).
Teori penerapan
hipogram menurut Riffatere (dalam Pradorokusumo, 1984:61-65) ada empat, (1)
ekspansi, yaitu mengubah unsure-unsur pokok matrik kalimat menjadi bentuk yang
lebih kompleks. Ini tidak sekadar repetisi, tetapi juga mencakup perubahan
gramatikal. Misalnya mengubah jenis kata. Secara sederhana ekspansi dapat
dikatakan dengan perluasan/ pengembangan; (2) konversi, yaitu mengubah
unsure-unsur kalimat matrik dan memodifikasinya dengan sejumlah faktor yang
sama. Pradotokusumo mengartikan konvensi dengan pemutarbalikan hipogram atau
matriks. (3) modifik atau pengubahan. Modifik biasanya pengubahan pada tataran
linguistic, yaitu memanipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; (4) ekserp
atau excerpt, yaitu intisari suatu
unsure atau episode atau hipogram.
Ditinjau dari
segi filologis, hubungan yang ditunjukkan persamaan-persamaan tersebut disebut
peniruan atau jiplakan bahkan plagiat, tetapi dari segi intertekstual, selama
batas-batas orisinalitas, peniruan tersebut disebut kreatifitas. Menurut Ratna
(2005:175) kemampuan mengadakan intertekstualitas termasuk salah satu bentuk
orisinalitas karena tidak dimiliki setiap orang. Dengan demikian, dalam kajian
intertekstual, tidak ditemukan peniruan atau jiplakan, melainkan bentuk
transformasi dari teks-teks terdahulu.
2.2
Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia
Hubungan
intertekstual dalam karya sastra prosa Indonesia modern, misalnya dapat dilihat
anatar Di Bawah Lindungan Kaabah karya
Hamka dengan Atheis karya Achdiat
Kartamihardja dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati karya Nasijah
Djamin, bahkan Burung-Burung Manyar karya
YB. Mangunwijaya. Di Bawah Lindungan
Kaabah merupakan hipogram karya-karya yang kemudian itu, kecuali Burung-Burung Manyar yang berhipogram Atheis.
Tampak adanya
hubungna intertekstual antara DLK, Atheis, dan GHM terutama mengenai struktur
cerita dan pusat pengisahannya di samping masing-masing mempunyai kekhasannya
sendiri-sendiri.
Ketiganya (DLK,
GHM, Atheis) berstruktur terdiri dari tiga bagian, beralur sorot balik,
berpusat pengisahan metode orang pertama digabungkan dengan metode orang
ketiga.
2.3
Intertekstual dan Resepsi
Resepsi sastra
berasal dari kata recipere (latin), reception (Inggris), yang diartikan
sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan
sebagai pengolahan teks, pemberian makna, hingga memberikan respon terhadap
karya sastra (Ratna, 2005: 165).
Karya sastra tidak akan memiliki
makna jika tidak diberi makna oleh pembacanya. Jadi, pada dasarnya pembacalah
yang menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu teks dengan teks lainnya.
Penunjukkan terhadap adanya unsure hipogram pada suatu karya dari karya lain
pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca (Nurgiantoro, 2007:
54). Hal ini menunjukkan terjadinya hubungan yang dialektis antara teks karya
sastra sebagai system tanda dan pembaca yang memiliki horizon harapan sendiri
terhadap karya sastra yang dibacanya (Pradopo, 2007:115). Dengan demikian,
pembacalah yang memiliki peran dominan dalam memberikan makna suatu karya
sastra.
Menurut Segers
dikutip Pradopo (2007:176) horison harapan itu ditentukan oleh tiga kriteria.
Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang
dibacanya; kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks
yang dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu
kemampuan membaca untuk memahami.
Jadi, hubungan antara resepsi dan
intertekstual terjadi karena baik resepsi maupun interteks mempermasalahkan
hubungan antara dua teks atau lebih. Dalam merespon karya sastra, pembaca
menggunakan horison harapan yang didapatkannya dengan cara membaca teks-teks
lain.
2.4
Pengertian Novel
Novel berasal
dari bahasa latin “novella” yang berarti kabar (supardo,1961:13), novel adalah
cerita menurut Abrams (dalam At-Mazaki 2005:40) sebuah karya itu dikatakan
novel bisa ditandai oleh berapa hal yaitu: ceritanya memberi efek realitis
dengan mempresentasikan karakter yang kompleks dengan motif yang bercampur
dengan kelas sosial.
“Novel merupakan
suatu cerita yang fiktif dalam panjang tertentu yang melukiskan para tokoh,
gerak, serta adegan kehidupan nyata representative dalam suatu alur” (Tarigan,
1984:164).
Menurut
Sudjiman (1992: 55), novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan
tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.
Maka
dapat ditarik kesimpulan, novel menggambarkan realita yang ada dan dengan
imajinasi, mudah dipahami dan logis.
2.4.1
Sinopsis Novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi
Kisah ini diawali lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan
kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah
bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di
bawah menara masjid benar-benar terjadi.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.
Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara bukan lagi semata-mata dunia A. Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London, -setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal menggenggam impian masing-masing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.
Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara bukan lagi semata-mata dunia A. Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London, -setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal menggenggam impian masing-masing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses.
2.4.2
Sinopsis Novel Sang Pemimpi
karya Andrea Hirata
Jauh di pedalaman
pulau Belitong, tiga orang anak di sebuah kampung Melayu bermimpi untuk
melanjutkan sekolah mereka hingga ke Perancis, menjelahi Eropa, bahkan sampai
ke Afrika.! Ikal, Arai, dan Jimbron, merekalah si pemimpi itu, walau bagai
punguk merindukan bulan, mereka tak peduli, mereka memiliki tekad baja untuk
mewujudkan mimpi mereka, hidup di daerah terpencil, kepahitan hidup,
kemiskinan, bukanlah pantangan bagi mereka untuk bermimpi. Mereka tak menyerah
pada nasib dan keadaan mereka, bagi mereka mimpi adalah energi bagi kehidupan
mereka masa kini untuk melangkah menuju masa depan yang mereka cita-citakan.
Novel
kedua Andrea Hirata “Sang Pemimpi” ini bertutur bagaimana ketiga anak kampung
Melayu di kawasan PN Timah Belitong menjalani hari-hari mereka bersama
mimpi-mimpinya. Karena masih merupakan kelanjutan dari novel pertamanya Laskar
Pelangi, Sang Pemimpi pun masih bertutur mengenai memoar kehidupan Ikal, dalam
menapaki kehidupannya. Jika dalam Laskar Pelangi tokoh Ikal yang ketika SD
hingga SMP ditemani oleh kesepuluh teman-temannya yang dinamai Laskar Pelangi,
kini Ikal yang telah bersekolah di SMA ditemani oleh dua orang temannya Arai
dan Jimbron.
Arai
sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Ikal, kedua orang tuanya
meninggal dunia ketika ia masih kecil. Arai tak memiliki saudara kandung
sehingga setelah kematian kedua orang tuanya Arai diasuh oleh kedua orang tua
Ikal di kampungnya sehingga bagi Ikal, Arai adalah saudara sekaligus sahabat
terbaik baginya, Arai memiliki pribadi yang terbuka dan cerdas. Sedangkan
Jimbron adalah sosok rapuh, ia tak secerdas Ikal dan Arai, ia gagap dalam
berbicara semenjak kematian ayahnya. Jimbron sangat terobsesi oleh kuda,
padahal di kampungnya tak ada seekorpun kuda bisa ditemui, nantinya kisah
Jimbron dan obsesinya ini menjadi bagian yang menarik dan lucu pada buku ini
Ikal,
Arai dan Jimbron memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, mereka bahu membahu
mewujudkan mimpi mereka, saat itu PN Timah Belitong sedang dalam keadaan
terancam kolaps, gelombang PHK besar-besaran membuat banyak anak-anak tidak
bisa meneruskan sekolah mereka karena orang tuanya tak sanggup membiayai.
Mereka yang masih ingin bersekolah harus bekerja. Demikian juga dengan ketiga
pemimpi, begitu tamat SMP mereka ingin tetap melanjutkan sekolah mereka, karena
di kampung mereka tak ada SMA, mereka harus merantau ke Magai, 30 kilometer
jaraknya dari kampung mereka. Untuk itu mereka tinggal bersama-sama dalam
sebuah los kontrakan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya
mereka bekerja mulai dari penyelam di padang golf, office boy di sebuah kantor
pemerintah hingga akhirnya bekerja sebagai kuli ngambat, yang bertugas menunggu
perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan.
Menurut hirarki pekerjaan di Magai, kuli tambat adalah pekerjaan yang paling
kasar yang hanya akan digeluti oleh mereka yang tekad ingin sekolahnya sekeras
tembaga atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan
lain. Hal ini membuktikan bahwa ketiga pemimpi ini memiliki hati yang sekeras
tembaga untuk bisa bersekolah untuk mewujudkan mimpi mereka.
Kisah
memoar kehidupan Ikal dan kedua sahabatnya dalam mewujudkan impian inilah yang
tersaji dalam novel ini. Semua kisahnya tersaji dalam 18 bab yang tidak terlalu
panjang, masing-masing memiliki kisahnya sendiri, namun ada juga beberapa bab
yang sambung menyambung. Beberapa bab menyuguhkan cerita-cerita yang bersahaja
seperti pada bab Baju Safari Ayahku yang mengisahkan bagaimana ayah Ikal yang
tak banyak bicara namun begitu mencintai dirinya, hal ini terbukti ketika
ayahnya harus mengayuh sepeda sejauh 30 km untuk mengambil rapor ikal dan Arai.
Ketika hari yang ditentukan tiba ayah Ikal bahkan harus bangun pagi-pagi sekali
untuk mempersiapkan dirinya, dikenakannya satu-satunya pakaian Safari empat
saku kesayangannya yang telah disetrika dengan rapih, baginya hari itu adalah
hari yang terpenting bagi hidupnya. Kesungguhan hati sang ayah dalam mengambil
rapor Ikal dan Arai tak berbuah sia-sia karena mereka masing-masing menduduki
rangking ketiga dan kelima. Kisah yang tersaji dalam bab ini sangatlah indah,
secara piawai Andrea meramu kalimat-kalimatnya dengan indah sehingga pembaca
akan merasakan bagaimana bangganya Ikal memiliki ayah yang begitu mencintainya.
Masih
ada beberapa kisah lagi yang menggugah, namun ada juga beberapa kisah lucu yang
membuat pembacanya tersenyum dan tertawa terbahak-bahak ketika membaca
pengalaman-pengalaman lucu mereka, misalnya pada Bab Bioskop yang menceritakan
kisah kenakalan Ikal dan kawan-kawannya ketika secara sembunyi-sembunyi masuk
kedalaam gedung bioskop untuk menonton film-film murahan yang mengumbah
syahwat. Tentu saja ini petualangan yang berbahaya karena menonton bioskop
merupakan salah satu larangan paling keras dari Pak Mustar, guru mereka.
“Kita akan sekolah ke Perancis, menjelajahi Eropa sampai ke
Afrika! Apapun yang terjadi!”
5.
Intertekstual Novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi dan Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata
5.1 Sudut Pandang
Dalam novel Negeri 5 Menara dan Sang Pemimpi
menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”yang melibatkan pencerita
sebagai orang yang turut terlibat dalam cerita. Dalam hal ini “sudut pandang
pertama “aku tokoh utama”. Sudut pandang sisi si “aku” mengisahkan berbagai
peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah dalam diri
sendiri, maupun fisik yang berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya.
Cara pengarang menggunakan sudut pandang tersebut
dapat dilikat dari kutipan berikut:
“Aku
tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil
mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku member
selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten
Agam.” (Fuadi, 2010:5)
“Aku
gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun
seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak
teguh, gemetar.” (Hirata, 2007:2)
5.2 Alur atau Plot
Alur yang digunakan dalam novel Negeri
5 Menara adalah alur campuran. Di dalam novel tersebut, cerita di awali dengan
keberadaan tokoh “aku” yang sedang di Washington DC, kemudian cerita mundur ke
masa lalu yang menceritakan masa sekolah si “aku” selama di pesantren.
Alur dalam novel Negeri 5 Menara dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“Tugas
liputan ke London untuk wawancara dengan Tony Blair, perdana menteri Inggris
dan misi pribadiku menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan
sebagai peliput, tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal
Indonesia yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika, termasuk
serangan 11 September 2001” (Fuadi, 2010: 3)
“Nilaiku
adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku
ikuti perintah Amak belajar di madrasah tsanawiyah, sekarang waktunya aku
menjadi orang umumnya, masuk jalur non agama—SMA. Aku bahkan sudah berjanji
dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke
SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi.” (Fuadi,
2010: 5)
“Bapak,
Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani. Hari ini
saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok
seluas lim belas hektar ini.” (Fuadi, 2010: 30).
Sedangkan
dalam novel Sang Pemimpi, alur yang digunakan adalah alur maju, hal ini
dibuktikan dengan adanya tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir yang
terletak secara berurutan.
1)
Tahap
Awal
Tahap awal cerita adalah melukiskan keadaan tempat
cerita. Kemudian, dideskripsikan pula kegiatan pelaku cerita, sebagaimana
terdapat dalam cuplikan berikut:
“Dan di sini, di sudut dermaga ini,
dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu. Aku
gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama Punchbag yang dihantam seorang petinju.
Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar.
Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini,
sirna dikalahka rasa takut. (Hirata, 2007: 2)
2) Tahap
Tengah
Pada tahap ini pembaca mulai memperoleh cerita
karena konflik mulai muncul, yaitu ketika Ikal memperoleh kursi nomor 75 dalam
uruta prestasi. Ikal dimarahi Pak Mustar
yang merasa kecewa karena prestasi Ikal yang turun drastis. Hal ini disebabkan
kondisi Ikal yang pesimis terhadap masa depannya.
Dan berikut adalah kutipan tahap tengah dalam novel
Sang Pemimpi:
“ Tujuh
puluh lima!! Sekali lagi 75!! Itulah nomor kursi ayahmu sekarang…. Aku
dipanggil pak Mustar. Dengan gaya orang Melayu tulen aku disemprotnya
habis-habisan, “Hanya tinggal satu semester lagi tamat SMA, memalukan!!!
Memalukan bukan buatan!!. (Hirata, 2007: 148)
3) Tahap
akhir
Tahap akhir dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata diakhiri dengan keberhasilan Ikal dan Arai lulus seleksi di Universitas
Sorbonne, Paris.
5.3 Tokoh dan penokohan
Tokoh utama dalam novel Negeri 5 Menara karya
A.Fuadi adalah Alif yang digambarkan sebagai tokoh “aku”. Sedangkan penokohannya,
Alif dilukiskan sebagai seorang anak yang mempunyai cita-cita dan keinginan
untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah
tokoh yang ia baca di dalam buku.
Tokoh utama dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata adalah Ikal yang juga dilukiskan sebagai tokoh “aku”. Penokohannya, Ikal
digambarkan sebagai anak yang juga memiliki keinginan keras untuk mewujudkan
mimpi-mimpinya.
Persamaannya adalah kedua tokoh dalam novel
tersebut merupakan pelajar yang merantau di negeri orang. Alif dalam novel
Negeri 5 Menara diceritakan berasal dari Bukittinggi kemudian merantau ke Pulau
Jawa untuk melanjutkan sekolah di Pondok pesantren. Sedangkan Ikal dalam novel Sang Pemimpi
dikisahkan berasal dari Gantong, begitu tamat SMP Ikal ingin tetap melanjutkan
sekolah mereka, karena di kampungnya tak ada SMA, ia harus merantau ke Magai,
30 kilometer jaraknya dari kampungnya. Untuk itu ia tinggal bersama kedua
temannya, Arai dan Jimbron, dalam sebuah los kontrakan.
Perbedaanya terletak pada jenis sekolah yang
ditempuh oleh tokoh Alif dan Ikal. Alif melanjutkan sekolah ke pesantren,
sedangkan Ikal melajutkan sekolah ke SMA Negeri. Pada saat menempuh pendidikan
Alif berteman akrab dengan Raja, Atang,Dulmajid, Baso ndan Said. Sedangkan
Ikal, dalam Sang Pemimpi, berteman akrab dengan Arai dan Jimbron.
5.4 Latar
Perbedaan latar
yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi dan Negeri 5 Menara terletak pada latar
tempat dan waktu. Dalam novel Sang Pemimpi terdapat tiga unsur yaitu latar
tempat terjadi di daerah Provinsi Bangka Belitong. Latar waktu antara tahun
1988 sampai dengan 2000. Latar sosial yang terjadi dalam novel Sang Pemimpi
adalah masyarakat yang religius dan moral yang dijunjung tinggi, perjuangan
cita-cita dan mimpi-mimpi di tengah kondisi kemiskinan.
Sedangkan latar
dalam novel Negeri 5 Menara juga dibagi menjadi tiga unsur yaitu latar tempat
terjadi di Negara Amerika Serikat, Bukittinggi dan di Provinsi Jawa Timur.
Latar waktu yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara adalah antara tahun 1990an.
Latar sosial yang terjadi dalam novel Negeri 5 Menara adalah masyarakat yang
taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai moral di tengah kondisi semangat
meraih cita-cita.
Dari kedua
paragaraf di atas, dapat dilihat persamaan latar kedua novel tersebut terletak
pada latar sosial dimana latar sosial keduanya adalah berada dalam kondisi
masyarakat yang religious dan santun dalam bersikap, penuh semangat dalam
meraih cita-cita.
5.5 Tema
Tema yang terdapat
dalam novel Sang Pemimpi adalah “perjuangan dan kegigihan serta semangat meraih
cita-cita”. Penyimpulan tema ini tersirat dari sikap tokoh utama Ikal yang
selalu bersemangat bersama Arai untuk meraih cita-cita.
“Kita lakukan yang terbaik
di sini!! Dan kita akan berkelana menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Kita akan
sekolah ke Prancis!! Kita akan menginjakan kaki di altar suci almamater
Sorbone! Apa pun yang terjadi!!” (Hirata, 2007: 154)
Dalam novel Negeri
5 Menara, tema yang diangkat adalah “tidak gampang menyerah dan bersungguh-sungguh
dalam meraih cita-cita”. Penyimpulan tema ini tersirat dari tokoh utama, Alif,
bersama teman-temannya yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap
sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara
masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka
melambungkan impiannya. Misalnya Alif, jika awan itu bentuknya seperti
benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti.
Persamaan tema dari kedua novel
tersebut adalah semangat dalam mewujudkan impian dan meraih cita-cita.
Sedangkan perbedaannya terletak pada motto yang terdapat dalam kedua novel
tersebut. Ikal dan Arai, tokoh cerita dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata memiliki motto, “bermimpilah karena Tuhan akan memeluk
mimpi-mimpi itu”. Sedangkan dalam novel Negeri 5 Menara tokoh utamanya,
Alif, terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada.
Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
5.6 Amanat
Persamaan
amanat dalam kedua novel ini adalah Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi
apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Amanat merupakan pesan moral yang dapat
di ambil setelah membaca kedua novel ini secara keseluruhan.
6. Penutup
Dari unsur intrinsik yang di bahas
dalam novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi dan novel Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata, maka dapat diketahui bahwa terdapat hubungan intertekstual dalam sudut
pandang, tema, amanat, seting serta tokoh dan penokohan yang dimiliki oleh
kedua novel tersebut.
Persamaan-persamaan yang ditemukan
dalam kedua novel tersebut menunjukkan adanya hipogram karya sastra
yang meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. (2)
konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah
perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp
adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi
pengarang (Endraswara, 2003:132)
Sedangkan
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya juga menunjukkan bahwa pada karya
sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya berupa kreatifitas dari
pengarang mengenai fenomena-fenomena yang timbul dari karya sebelumnya.
Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi tak
nampak sama.
Sumber
Rujukan
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Fuadi,A.
2010. Negeri 5 Menara. Jakarta:
Gramedia.
Hirata,
Andrea. 2007. Sang Pemimpi.
Yogyakarta: Bentang.
Mukmin,
Suhardi. 2005. Transformasi Akhlak dalam
Sastra: Kajian Semiotik Robohnya Surau Kami. Palembang: Unsri.
Nurgiyantoro,
Burhan.2000. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman
Kutha. 1997. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sitanggang,
S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam
Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar