Pengikut

Selasa, 20 Maret 2012


INTERTEKSTUAL DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA A.FUADI DAN NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA
(Kajian Intertekstual)
WAHDANIAH
(20102506047)
1.      Pendahuluan
Karya sastra diciptakan oleh pengarang. Berdasarkan kemampuan dan kekuatan imajinasinya seorang  pengarang mampu menciptakan suatu karya sastra. Namun karya sastra yang telah tercipta tidak semata-mata merupakan hasil kesanggupan seorang pengarang menciptakannya, tetapi karya sastra yang tercipta itu dapat juga merupakan hasil meniru, menyerap, menanggapi, dan mentransformasikan karya sastra sebelumnya. Kesanggupan seorang pengarang menghasilkan sebuah karya sastra kemungkinan karena pernah membaca karya sastra sebelumnya. Hasil dari membaca karya sastra sebelumnya dapat dijadikan acuan, pedoman, atau latar untuk menciptakan suatu karya sastra yang lain. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Nurgiantoro (2000:54) bahwa seringkali karya sastra itu tercipta karena pengarang bermaksud untuk menanggapi, menyerap, dan mentransformasikan karya sastra sebelumnya.
Sebuah karya sastra yang diciptakan pengarang itu untuk dibaca, dinikmati, ataupun dimaknai. Untuk dapat memaknai karya sastra, di samping diperlukan analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra, seperti tema, alur, latar, diperlukan pula latar social dan kesejarahannyan(Pradopo, 2003: 126). Lebih lanjut Pradopo (2003:167) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini dapat berupa persamaan atau pertentangan.
Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).
Berkenaan dengan memahami sastra melalui konteks kesejarahan, antara karya sastra dengan karya sastra yang lain, dilakukan kajian terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai hubungan tertentu. Misalnya, menemukan hubungan unsure-unsur intrinsikya. Pengkajian sastra yang bermaksud menemukan hubungan persamaan dan perbedaan anatara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain disebut kajian intertekstual (Nurgiantoro, 2003: 50).
Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisis hubungan intertekstual novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata dan novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi berdasarkan unsur instrinsiknya.
2.             Pembahasan
2.1  Pengertian Intertekstual
Secara etimolologis berasal dari kata textus dari bahasa Latin yang berarti tenunan, penggabungan, dan susunan (Ratna, 1997: 172). Intertekstual merupakan kajian tentang hubungan suatu teks dengan teks yang lain karena tidak ada teks karya sastra yang lahir begitu saja, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lainnya. Sebagai contoh, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masayarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Menurut Nurgiantoro (2000:50) secara lebih khusus, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual merupakan usaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sastra sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya sastra ditulis, ia tidak mungkin lahir dari kekosongan budaya (Riffatere dalam Nurgiantoro, 2000:50). Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Kajian ini menekankan bahwa suatu teks pada hakikatnya terdapat teks lain di dalamnya. Julia Kristeva dikutip oleh Yunus (1985:87) merumuskan intertekstual sebagai berikut:
a)      Kehadiran secara fisikal suatu teks dalam teks lainnya.
b)      Pengertian teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tetapi juga mungkin berupa teks bahasa.
c)      Adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan persambungan dan pemisah antara sutau teks dengan teks yang telah terbit lebih dahulu. Dengan demikian, bukan tidak mungkin penulisnya (telah) mebaca teks yang telah terbit lebih dahulu dan kemudian memasukkannya ke dalam teks yang ditulisnya.
d)     Dalam membaca suatu teks, kita tidak hanya membaca teks itu saja, tetapi kita membacanya secara berdampingan dengan teks-teks lainnya, sehingga interpretasi kita terhadapnya tak dapat dilepaskan dari teks-teks lainnya.
Kritik sastra terapan intertekstual dihasilkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Ia mengkritik karya-karya sastra yang menunjukkan adany hubungan intertekstual, baik novel (dalam Bagus, ed.,1987:32-52) maupun puisi (Pradopo, 1987:223-253). Kritik intertekstualitas ini untuk memahami makna karya sastra dengan melihat hubungannya dengan karya sastra (teks) lain. Diharapkan dengan pengajaran atau mempertentangkan dua atau lebih karya sastra yang menunjukkan adanya hubungan antarteks, makna karya sastra itu akan lebih dapat digali (secara timbal-balik).
Menurut Teeuw yang dikutip Pradopo (2007: 131) karya sastra merupakan response terhadap karya sastra sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dengan teks yang lain. Julia Kristeva (dikutip Pradopo, 2007: 132) menyatakan bahwa setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan dan merupakan tanggapan atau penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsure-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks-teks sebelumnya, kemudian unsure-unsur tersebut diolah dengan karya sendiri berdasarkan pikiran, gagasan, horizon harapan, dan konsep estetika yang dimiliki pengarang.
Teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut hipogram, sedangkan teks yang menyerap (mentransformasi) hipogram itu disebut teks tranformasi.
Hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram actual. Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstaksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi system tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial ini adalah matrik yang merupakan inti teks atau kata kunci yang dapat berupa kata, frase dan klausa (Pradopo dikutip Mukmin, 2005:33-34).
Teori penerapan hipogram menurut Riffatere (dalam Pradorokusumo, 1984:61-65) ada empat, (1) ekspansi, yaitu mengubah unsure-unsur pokok matrik kalimat menjadi bentuk yang lebih kompleks. Ini tidak sekadar repetisi, tetapi juga mencakup perubahan gramatikal. Misalnya mengubah jenis kata. Secara sederhana ekspansi dapat dikatakan dengan perluasan/ pengembangan; (2) konversi, yaitu mengubah unsure-unsur kalimat matrik dan memodifikasinya dengan sejumlah faktor yang sama. Pradotokusumo mengartikan konvensi dengan pemutarbalikan hipogram atau matriks. (3) modifik atau pengubahan. Modifik biasanya pengubahan pada tataran linguistic, yaitu memanipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; (4) ekserp atau excerpt, yaitu intisari suatu unsure atau episode atau hipogram.
Ditinjau dari segi filologis, hubungan yang ditunjukkan persamaan-persamaan tersebut disebut peniruan atau jiplakan bahkan plagiat, tetapi dari segi intertekstual, selama batas-batas orisinalitas, peniruan tersebut disebut kreatifitas. Menurut Ratna (2005:175) kemampuan mengadakan intertekstualitas termasuk salah satu bentuk orisinalitas karena tidak dimiliki setiap orang. Dengan demikian, dalam kajian intertekstual, tidak ditemukan peniruan atau jiplakan, melainkan bentuk transformasi dari teks-teks terdahulu.

2.2  Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia
Hubungan intertekstual dalam karya sastra prosa Indonesia modern, misalnya dapat dilihat anatar Di Bawah Lindungan Kaabah karya Hamka dengan Atheis karya Achdiat Kartamihardja dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati karya Nasijah Djamin, bahkan Burung-Burung Manyar karya YB. Mangunwijaya. Di Bawah Lindungan Kaabah merupakan hipogram karya-karya yang kemudian itu, kecuali Burung-Burung Manyar  yang berhipogram Atheis.
Tampak adanya hubungna intertekstual antara DLK, Atheis, dan GHM terutama mengenai struktur cerita dan pusat pengisahannya di samping masing-masing mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri.
Ketiganya (DLK, GHM, Atheis) berstruktur terdiri dari tiga bagian, beralur sorot balik, berpusat pengisahan metode orang pertama digabungkan dengan metode orang ketiga.

2.3  Intertekstual dan Resepsi
Resepsi sastra berasal dari kata recipere (latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, pemberian makna, hingga memberikan respon terhadap karya sastra (Ratna, 2005: 165).
Karya sastra tidak akan memiliki makna jika tidak diberi makna oleh pembacanya. Jadi, pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu teks dengan teks lainnya. Penunjukkan terhadap adanya unsure hipogram pada suatu karya dari karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca (Nurgiantoro, 2007: 54). Hal ini menunjukkan terjadinya hubungan yang dialektis antara teks karya sastra sebagai system tanda dan pembaca yang memiliki horizon harapan sendiri terhadap karya sastra yang dibacanya (Pradopo, 2007:115). Dengan demikian, pembacalah yang memiliki peran dominan dalam memberikan makna suatu karya sastra.
Menurut Segers dikutip Pradopo (2007:176) horison harapan itu ditentukan oleh tiga kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang dibacanya; kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan membaca untuk memahami.
Jadi, hubungan antara resepsi dan intertekstual terjadi karena baik resepsi maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih. Dalam merespon karya sastra, pembaca menggunakan horison harapan yang didapatkannya dengan cara membaca teks-teks lain.

2.4  Pengertian Novel
Novel berasal dari bahasa latin “novella” yang berarti kabar (supardo,1961:13), novel adalah cerita menurut Abrams (dalam At-Mazaki 2005:40) sebuah karya itu dikatakan novel bisa ditandai oleh berapa hal yaitu: ceritanya memberi efek realitis dengan mempresentasikan karakter yang kompleks dengan motif yang bercampur dengan kelas sosial.
“Novel merupakan suatu cerita yang fiktif dalam panjang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata representative dalam suatu alur” (Tarigan, 1984:164).
            Menurut Sudjiman (1992: 55), novel adalah prosa rekaan yang panjang yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.
Maka dapat ditarik kesimpulan, novel menggambarkan realita yang ada dan dengan imajinasi, mudah dipahami dan logis.
2.4.1        Sinopsis Novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi
Kisah ini diawali lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.
Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara bukan lagi semata-mata dunia A. Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London, -setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal menggenggam impian masing-masing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses.
2.4.2        Sinopsis Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
Jauh di pedalaman pulau Belitong, tiga orang anak di sebuah kampung Melayu bermimpi untuk melanjutkan sekolah mereka hingga ke Perancis, menjelahi Eropa, bahkan sampai ke Afrika.! Ikal, Arai, dan Jimbron, merekalah si pemimpi itu, walau bagai punguk merindukan bulan, mereka tak peduli, mereka memiliki tekad baja untuk mewujudkan mimpi mereka, hidup di daerah terpencil, kepahitan hidup, kemiskinan, bukanlah pantangan bagi mereka untuk bermimpi. Mereka tak menyerah pada nasib dan keadaan mereka, bagi mereka mimpi adalah energi bagi kehidupan mereka masa kini untuk melangkah menuju masa depan yang mereka cita-citakan.
Novel kedua Andrea Hirata “Sang Pemimpi” ini bertutur bagaimana ketiga anak kampung Melayu di kawasan PN Timah Belitong menjalani hari-hari mereka bersama mimpi-mimpinya. Karena masih merupakan kelanjutan dari novel pertamanya Laskar Pelangi, Sang Pemimpi pun masih bertutur mengenai memoar kehidupan Ikal, dalam menapaki kehidupannya. Jika dalam Laskar Pelangi tokoh Ikal yang ketika SD hingga SMP ditemani oleh kesepuluh teman-temannya yang dinamai Laskar Pelangi, kini Ikal yang telah bersekolah di SMA ditemani oleh dua orang temannya Arai dan Jimbron.
Arai sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Ikal, kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Arai tak memiliki saudara kandung sehingga setelah kematian kedua orang tuanya Arai diasuh oleh kedua orang tua Ikal di kampungnya sehingga bagi Ikal, Arai adalah saudara sekaligus sahabat terbaik baginya, Arai memiliki pribadi yang terbuka dan cerdas. Sedangkan Jimbron adalah sosok rapuh, ia tak secerdas Ikal dan Arai, ia gagap dalam berbicara semenjak kematian ayahnya. Jimbron sangat terobsesi oleh kuda, padahal di kampungnya tak ada seekorpun kuda bisa ditemui, nantinya kisah Jimbron dan obsesinya ini menjadi bagian yang menarik dan lucu pada buku ini
Ikal, Arai dan Jimbron memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, mereka bahu membahu mewujudkan mimpi mereka, saat itu PN Timah Belitong sedang dalam keadaan terancam kolaps, gelombang PHK besar-besaran membuat banyak anak-anak tidak bisa meneruskan sekolah mereka karena orang tuanya tak sanggup membiayai. Mereka yang masih ingin bersekolah harus bekerja. Demikian juga dengan ketiga pemimpi, begitu tamat SMP mereka ingin tetap melanjutkan sekolah mereka, karena di kampung mereka tak ada SMA, mereka harus merantau ke Magai, 30 kilometer jaraknya dari kampung mereka. Untuk itu mereka tinggal bersama-sama dalam sebuah los kontrakan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya mereka bekerja mulai dari penyelam di padang golf, office boy di sebuah kantor pemerintah hingga akhirnya bekerja sebagai kuli ngambat, yang bertugas menunggu perahu nelayan tambat dan memikul tangkapan para nelayan itu ke pasar ikan. Menurut hirarki pekerjaan di Magai, kuli tambat adalah pekerjaan yang paling kasar yang hanya akan digeluti oleh mereka yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga atau mereka yang benar-benar putus asa karena tidak memiliki pekerjaan lain. Hal ini membuktikan bahwa ketiga pemimpi ini memiliki hati yang sekeras tembaga untuk bisa bersekolah untuk mewujudkan mimpi mereka.
Kisah memoar kehidupan Ikal dan kedua sahabatnya dalam mewujudkan impian inilah yang tersaji dalam novel ini. Semua kisahnya tersaji dalam 18 bab yang tidak terlalu panjang, masing-masing memiliki kisahnya sendiri, namun ada juga beberapa bab yang sambung menyambung. Beberapa bab menyuguhkan cerita-cerita yang bersahaja seperti pada bab Baju Safari Ayahku yang mengisahkan bagaimana ayah Ikal yang tak banyak bicara namun begitu mencintai dirinya, hal ini terbukti ketika ayahnya harus mengayuh sepeda sejauh 30 km untuk mengambil rapor ikal dan Arai. Ketika hari yang ditentukan tiba ayah Ikal bahkan harus bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan dirinya, dikenakannya satu-satunya pakaian Safari empat saku kesayangannya yang telah disetrika dengan rapih, baginya hari itu adalah hari yang terpenting bagi hidupnya. Kesungguhan hati sang ayah dalam mengambil rapor Ikal dan Arai tak berbuah sia-sia karena mereka masing-masing menduduki rangking ketiga dan kelima. Kisah yang tersaji dalam bab ini sangatlah indah, secara piawai Andrea meramu kalimat-kalimatnya dengan indah sehingga pembaca akan merasakan bagaimana bangganya Ikal memiliki ayah yang begitu mencintainya.
Masih ada beberapa kisah lagi yang menggugah, namun ada juga beberapa kisah lucu yang membuat pembacanya tersenyum dan tertawa terbahak-bahak ketika membaca pengalaman-pengalaman lucu mereka, misalnya pada Bab Bioskop yang menceritakan kisah kenakalan Ikal dan kawan-kawannya ketika secara sembunyi-sembunyi masuk kedalaam gedung bioskop untuk menonton film-film murahan yang mengumbah syahwat. Tentu saja ini petualangan yang berbahaya karena menonton bioskop merupakan salah satu larangan paling keras dari Pak Mustar, guru mereka.
“Kita akan sekolah ke Perancis, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Apapun yang terjadi!”
5. Intertekstual Novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi dan Sang Pemimpi karya Andrea Hirata
5.1 Sudut Pandang
Dalam novel Negeri 5 Menara dan Sang Pemimpi menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”yang melibatkan pencerita sebagai orang yang turut terlibat dalam cerita. Dalam hal ini “sudut pandang pertama “aku tokoh utama”. Sudut pandang sisi si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik bersifat batiniah dalam diri sendiri, maupun fisik yang berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya.
Cara pengarang menggunakan sudut pandang tersebut dapat dilikat dari kutipan berikut:
“Aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP. Sambil mengguncang-guncang telapak tanganku, Pak Sikumbang, Kepala Sekolahku member selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam.” (Fuadi, 2010:5)

“Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar.” (Hirata, 2007:2)

5.2 Alur atau Plot
            Alur yang digunakan dalam novel Negeri 5 Menara adalah alur campuran. Di dalam novel tersebut, cerita di awali dengan keberadaan tokoh “aku” yang sedang di Washington DC, kemudian cerita mundur ke masa lalu yang menceritakan masa sekolah si “aku” selama di pesantren.
Alur dalam novel Negeri 5 Menara dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Tugas liputan ke London untuk wawancara dengan Tony Blair, perdana menteri Inggris dan misi pribadiku menghadiri undangan The World Inter-Faith Forum. Bukan sebagai peliput, tapi sebagai salah satu panelis. Sebagai wartawan asal Indonesia yang berkantor di AS, kenyang meliput isu muslim Amerika, termasuk serangan 11 September 2001” (Fuadi, 2010: 3)

“Nilaiku adalah tiket untuk mendaftar ke SMA terbaik di Bukittinggi. Tiga tahun aku ikuti perintah Amak belajar di madrasah tsanawiyah, sekarang waktunya aku menjadi orang umumnya, masuk jalur non agama—SMA. Aku bahkan sudah berjanji dengan Randai, kawan dekatku di madrasah, untuk sama-sama pergi mendaftar ke SMA. Alangkah bangganya kalau bisa bilang, saya anak SMA Bukittinggi.” (Fuadi, 2010: 5)
“Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani. Hari ini saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok seluas lim belas hektar ini.” (Fuadi, 2010: 30).

Sedangkan dalam novel Sang Pemimpi, alur yang digunakan adalah alur maju, hal ini dibuktikan dengan adanya tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir yang terletak secara berurutan.
1)      Tahap Awal
Tahap awal cerita adalah melukiskan keadaan tempat cerita. Kemudian, dideskripsikan pula kegiatan pelaku cerita, sebagaimana terdapat dalam cuplikan berikut:
            “Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu. Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama Punchbag yang dihantam seorang petinju. Berjingkat-jingkat di balik tumpukan peti es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahka rasa takut. (Hirata, 2007: 2)

2)      Tahap Tengah
Pada tahap ini pembaca mulai memperoleh cerita karena konflik mulai muncul, yaitu ketika Ikal memperoleh kursi nomor 75 dalam uruta  prestasi. Ikal dimarahi Pak Mustar yang merasa kecewa karena prestasi Ikal yang turun drastis. Hal ini disebabkan kondisi Ikal yang pesimis terhadap masa depannya.
Dan berikut adalah kutipan tahap tengah dalam novel Sang Pemimpi:
“ Tujuh puluh lima!! Sekali lagi 75!! Itulah nomor kursi ayahmu sekarang…. Aku dipanggil pak Mustar. Dengan gaya orang Melayu tulen aku disemprotnya habis-habisan, “Hanya tinggal satu semester lagi tamat SMA, memalukan!!! Memalukan bukan buatan!!. (Hirata, 2007: 148)

3)      Tahap akhir
Tahap akhir dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata diakhiri dengan keberhasilan Ikal dan Arai lulus seleksi di Universitas Sorbonne, Paris.
5.3 Tokoh dan penokohan
Tokoh utama dalam novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi adalah Alif yang digambarkan sebagai tokoh “aku”. Sedangkan penokohannya, Alif dilukiskan sebagai seorang anak yang mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di dalam buku.
Tokoh utama dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata adalah Ikal yang juga dilukiskan sebagai tokoh “aku”. Penokohannya, Ikal digambarkan sebagai anak yang juga memiliki keinginan keras untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Persamaannya adalah kedua tokoh dalam novel tersebut merupakan pelajar yang merantau di negeri orang. Alif dalam novel Negeri 5 Menara diceritakan berasal dari Bukittinggi kemudian merantau ke Pulau Jawa untuk melanjutkan sekolah di Pondok pesantren.  Sedangkan Ikal dalam novel Sang Pemimpi dikisahkan berasal dari Gantong, begitu tamat SMP Ikal ingin tetap melanjutkan sekolah mereka, karena di kampungnya tak ada SMA, ia harus merantau ke Magai, 30 kilometer jaraknya dari kampungnya. Untuk itu ia tinggal bersama kedua temannya, Arai dan Jimbron, dalam sebuah los kontrakan.
Perbedaanya terletak pada jenis sekolah yang ditempuh oleh tokoh Alif dan Ikal. Alif melanjutkan sekolah ke pesantren, sedangkan Ikal melajutkan sekolah ke SMA Negeri. Pada saat menempuh pendidikan Alif berteman akrab dengan Raja, Atang,Dulmajid, Baso ndan Said. Sedangkan Ikal, dalam Sang Pemimpi, berteman akrab dengan Arai dan Jimbron.
5.4 Latar
Perbedaan latar yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi dan Negeri 5 Menara terletak pada latar tempat dan waktu. Dalam novel Sang Pemimpi terdapat tiga unsur yaitu latar tempat terjadi di daerah Provinsi Bangka Belitong. Latar waktu antara tahun 1988 sampai dengan 2000. Latar sosial yang terjadi dalam novel Sang Pemimpi adalah masyarakat yang religius dan moral yang dijunjung tinggi, perjuangan cita-cita dan mimpi-mimpi di tengah kondisi kemiskinan.
Sedangkan latar dalam novel Negeri 5 Menara juga dibagi menjadi tiga unsur yaitu latar tempat terjadi di Negara Amerika Serikat, Bukittinggi dan di Provinsi Jawa Timur. Latar waktu yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara adalah antara tahun 1990an. Latar sosial yang terjadi dalam novel Negeri 5 Menara adalah masyarakat yang taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai moral di tengah kondisi semangat meraih cita-cita.
Dari kedua paragaraf di atas, dapat dilihat persamaan latar kedua novel tersebut terletak pada latar sosial dimana latar sosial keduanya adalah berada dalam kondisi masyarakat yang religious dan santun dalam bersikap, penuh semangat dalam meraih cita-cita.

5.5 Tema
Tema yang terdapat dalam novel Sang Pemimpi adalah “perjuangan dan kegigihan serta semangat meraih cita-cita”. Penyimpulan tema ini tersirat dari sikap tokoh utama Ikal yang selalu bersemangat bersama Arai untuk meraih cita-cita.
            “Kita lakukan yang terbaik di sini!! Dan kita akan berkelana menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis!! Kita akan menginjakan kaki di altar suci almamater Sorbone! Apa pun yang terjadi!!” (Hirata, 2007: 154)
Dalam novel Negeri 5 Menara, tema yang diangkat adalah “tidak gampang menyerah dan bersungguh-sungguh dalam meraih cita-cita”. Penyimpulan tema ini tersirat dari tokoh utama, Alif, bersama teman-temannya yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Alif,  jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti.
            Persamaan tema dari kedua novel tersebut adalah semangat dalam mewujudkan impian dan meraih cita-cita. Sedangkan perbedaannya terletak pada motto yang terdapat dalam kedua novel tersebut. Ikal dan Arai, tokoh cerita dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata memiliki motto, “bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”. Sedangkan dalam novel Negeri 5 Menara tokoh utamanya, Alif, terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.

5.6 Amanat
Persamaan amanat dalam kedua novel ini adalah Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Amanat merupakan pesan moral yang dapat di ambil setelah membaca kedua novel ini secara keseluruhan.

6. Penutup
Dari unsur intrinsik yang di bahas dalam novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi dan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata, maka dapat diketahui bahwa terdapat hubungan intertekstual dalam sudut pandang, tema, amanat, seting serta tokoh dan penokohan yang dimiliki oleh kedua novel tersebut.
Persamaan-persamaan yang ditemukan dalam kedua novel tersebut menunjukkan adanya hipogram karya sastra yang meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132)
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya juga menunjukkan bahwa pada karya sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya berupa kreatifitas dari pengarang mengenai fenomena-fenomena yang timbul dari karya sebelumnya. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi tak nampak sama.
Sumber Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Fuadi,A. 2010. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia.
Hirata, Andrea. 2007. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang.
Mukmin, Suhardi. 2005. Transformasi Akhlak dalam Sastra: Kajian Semiotik Robohnya Surau Kami. Palembang: Unsri.
Nurgiyantoro, Burhan.2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 1997. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar